Lockdown vs PSBB

Lockdown vs PSBB

Di tahun 2020 ini Indonesia dikejutkan dengan adanya virus baru yang menyebar dengan sangat cepat. Pemerintah Indonesia baru mengkonfirmasi kasus pertama Covid-19 pada 2 Maret 2020. Sejak saat itu, banyak kebijakan dan strategi dibuat dalam rangka mencegah transmisi dan kematian signifikan akibat penyakit ini. Namun, segala kebijakan dan strategi yang dilakukan pemerintah kita tak luput dari aneka respons dan persepsi yang diberikan masyarakat.

Coronavirus atau Covid-19 masih menjadi salah satu bagian dari keluarga besar penyakit MERS-CoV[1] dan SARS-CoV[2] yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan. Penyakit ini dapat menyerang hewan atau manusia. Dr. Meva Nareza (2020), mengatakan jika terjangkit virus ini, terdapat beberapa gejala yang timbul seperti bersin-bersin, batuk kering, sakit tenggorokan, demam, dan hidung tersumbat. Ini berbeda dari flu pada umumnya. Pada flu biasa, umumnya gejala yang ditimbulkan ialah batuk ringan, hidung mengeluarkan cairan berupa air, dan biasanya disertai dengan demam. Jika terjangkit virus ini (corona virus) dapat menimbulkan risiko dari yang paling ringan (kondisi tubuh melemah) hingga yang paling berat (kematian). Akibat lainnya dari virus ini adalah, menjadi ancaman bagi berbagai bidang, terutama pada bidang ekonomi.

Kurangnya informasi tentang bagaimana dan apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi pandemi, membuat semua negara tidak ada yang siap untuk menghadapinya, apalagi setiap negara memiliki kondisi demografis dan perilaku penduduk yang berbeda-beda. Kurangnya informasi tentang apa yang harus kita lakukan ketika berhadapan dengan pandemi membuat para pengambil keputusan (decision maker) dari setiap negara mengalami kondisi uncertainty dimana kebanyakan negara bingung ketika harus memilih antara lockdown atau pembatasan sosial.

Sedangkan di Indonesia, beberapa pihak beranggapan bahwa Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh pemerintah pusat merupakan pengambilan keputusan yang tepat karena dengan adanya keputusan ini, pemerintah berharap penyebaran virus korona dapat ditekan serta menghindari terbentuknya kerumunan. Namun dibalik pengambilan keputusan ini, memaksa para produsen, para pendidik, dan para pekerja dari sektor jasa harus melakukan aktivitasnya di dalam rumah. 

Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) Ida Fauziah mengungkapkan sebanyak 3.066.567 pekerja terdampak Covid-19 sehingga harus di-PHK maupun dirumahkan. Data ini tercatat hingga 27 Mei 2020. Dari jumlah tersebut, 1.757.464 data pekerja telah cleansing. Artinya sudah kita ketahui by name-by address. Sisanya, 1.274.459 pekerja masih dilakukan cleansing. Kemenker Indonesia, Ida Fauziah pada Jumat (12/6/2020) mengatakan bahwa dari sebanyak 1.757.464 pekerja terdampak Covid-19, sebanyak 380.221 pekerja diantaranya merupakan pekerja sektor formal ter-PHK. Sisanya, 1.058.284 pekerja sektor formal dirumahkan dan 318.959 pekerja informal (termasuk UMKM) yang terdampak. Selain dari PHK banyak perusahaan yang harus tutup akibat corona ini, seperti yang dialami salah satu perusahaan di Indonesia, Ikatan Nasional Konsultan Indonesia atau Inkindo. Ketua Umum Inkindo, Peter Frans mengatakan bahwa terdapat perusahaan konsultan di Inkindo tutup akibat dari corona, yakni sebanyak 1.728 perusahaan.

Ada hal yang menarik dari pengambilan keputusan pemerintah seperti, mengapa Indonesia lebih memilih PSBB daripada lockdown ? Deputi V Staf Kepresidenan Republik Indonesia, Jaleswari Pramodhawardani menyampaikan, pemerintah tidak mengambil kebijakan untuk lockdown karena menyesuaikan banyak aspek di masyarakat Indonesia ini sendiri. Kebijakan itu seperti, aspek sosial, aspek wilayah, dan anggaran.  Selain itu kegiatan ekonomi Indonesia sendiri banyak terjadi di sektor informal, dengan dilakukannya PSBB ini Pemerintah berharap agar sektor informal yang menjadi salah satu penopang perekonomian Indonesia dapat tetap hidup di tengah pandemi.

Dalam hal penerapan PSBB di sejumlah daerah, Kepala Negara menekankan agar dalam implementasi dan pelaksanaannya, masing-masing daerah dapat melaksanakan sesuai dengan prosedur. Pelaksanaan PSBB menuntut penanganan sebuah kawasan besar yang saling terhubung sehingga manajemen antar daerah dalam wilayah besar tersebut menjadi terpadu dalam konteks PSBB.

Berdasarkan data yang ada, pelaksanaan PSBB di sejumlah daerah memang memberikan hasil dan efektivitas yang bervariasi. Dari sejumlah itu, terdapat daerah yang mengalami penurunan kasus positif Covid-19 secara gradual, konsisten, namun tidak drastis. Ada juga daerah yang mengalami penurunan kasus namun masih mengalami fluktuasi dan belum konsisten. Selain itu, ada pula daerah yang menerapkan PSBB namun berdasarkan jumlah kasus positif yang ada tidak terpaut jauh dari sebelum pelaksanaan PSBB.

Maka dari itu alasan pemerintah memilih untuk memberlakukan PSBB adalah untuk menurunkan tingkat risiko perekonomian Indonesia yang semakin terpuruk. Tindakan risk aversion ini menjadi langkah pemerintah yang dinilai cukup ideal untuk mengatasi penyebaran virus corona dan juga menjaga perekonomian negara. 

Banyak negara yang sudah terpapar virus corona lalu menerapkan kebijakan lockdown bagi sebagian wilayah di negaranya, bahkan banyak pula yang menerapkan lockdown untuk satu negara. Namun pemerintahan di Indonesia tidak menjadikan lockdown sebagai salah satu kebijakan untuk memerangi penyebaran virus corona. Apa alasannya? Dan apa yang akan terjadi jika Indonesia memberlakukan kebijakan lockdown?

 Jika Indonesia memberlakukan kebijakan lockdown aspek ekonomi adalah aspek yang paling berdampak besar dalam perubahannya. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyebut jika terjadi lockdown di Indonesia dampaknya jauh lebih besar dibandingkan negara-negara lain. Hal ini dikarenakan ada begitu banyak masyarakat di Indonesia yang bekerja di bidang informal, seperti tukang bakso, tukang ketoprak, tukang jamu, dan sebagainya. Dimana mereka mendapatkan penghasilan secara harian, dan jika lockdown diberlakukan hal itu akan menghilangkan penghasilan mereka, sehingga hal ini akan menyusahkan mereka. Lalu ekonom PT. Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengatakan jika lockdown dilakukan maka dampaknya di Jakarta sangat lebih berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Karena 75% pergerakan uang dalam perekonomian nasional berada di Jakarta, dimana perputaran ekonomi bisa sangat terganggu dan menurunkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan.  

Ketika masa pandemi, kebijakan yang diterapkan adalah kebijakan PSBB. Maka dari itu, konsep prisoner’s dilemma dapat digunakan dalam menganalisis kebijakan PSBB. Ketika kita memilih untuk mematuhi atau tidak mematuhi kebijakan ini terdapat beberapa asumsi: 

  1. Asumsi pertama adalah jika orang A dan orang B mematuhi kebijakan PSBB ini, maka resiko terpapar virus ini akan menjadi rendah.

  2. Asumsi kedua adalah jika orang A mematuhi kebijakan PSBB ini dan orang B tidak mematuhinya, maka resiko orang A dan B terpapar virus akan menjadi tinggi. 

  3. Asumsi ketiga adalah jika orang A tidak mematuhi dan orang B mematuhinya, maka resiko orang A dan orang B terpapar virus juga akan menjadi tinggi. 

  4. Asumsi keempat adalah jika kedua orang A dan B sama-sama tidak mematuhi kebijakan PSBB, maka kedua orang A dan B terpapar virus juga akan semakin tinggi.


Jadi, dapat disimpulkan dari beberapa asumsi diatas bahwa tindakan atau respon terbaik yang dapat dilakukan adalah sama-sama mematuhi kebijakan PSBB, karena resiko dapat terpapar virus corona yang rendah.


Sumber: 

https://docplayer.info/32389194-Ekonomi-informasi-risiko-dan-pengambilan-keputusan.html


https://www.kompas.com/sains/read/2020/04/02/110000123/indonesia-tak-pilih-lockdown-sebagai-solusi-ini-alasannya-?page=all


https://www.presidenri.go.id/siaran-pers/pemerintah-evaluasi-pelaksanaan-psbb-secara-menyeluruh/

 

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4943406/sudah-tahu-dampaknya-kalau-ri-lockdown-ngeri-lho

CoV[1] dan SARS-CoV[2]



[1] Middle East Respiratory Syndrome

[2] Severe Acute Respiratory Syndrome


Comments

Popular Posts